Saidina Umar Dengan Pengembala



Alkisah, ada seorang pemuda yang bekerja sebagai pengembala kambing. Jumlah kambing yang dia gembala berjumlah ratusan ekor. Bertahun-tahun dia bekerja tanpa pernah mengeluh meski hasil jerih payahnya tak seberapa. 

 Suatu ketika, datang seorang musafir yang kehausan setelah menempuh perjalanan jauh. Melihat ada pengembala kambing tersebut, gembiralah hati musafir itu. Si musafir meminta minum kepada si pemuda penggembala tersebut. Namun, pemuda itu menjawab bahwa dirinya tak punya air minum untuk diberikan kepada si musafir. Musafir tersebut kemudian memohon agar diizinkan mengambil air susu dari seekor kambing yang digembalakan si pemuda itu. Pemuda tersebut menolak dengan halus. 

"Tolonglah, saudaraku. Tolonglah aku. Aku sangat haus. Izinkan aku untuk memerah kambingmu sekadar beberapa teguk untuk menghilangkan dahagaku," ujar si musafir. Pemuda itu menjawab, "kambing-kambing ini bukan kepunyaanku, aku tak berani mengizinkan engkau sebelum majikanku mengizinkannya." Pemuda mengatakan, "Kalau kau mau, tunggulah di sini sebentar. Kucarikan telaga dan kuambilkan air untukmu, saudaraku." 

Kemudian, pergilah pemuda tersebut mencarikan air untuk si musafir. Setelah dapat, diberikannya air itu kepada si musafir. "Alhamdulillah, segar betul rasanya, terima kasih wahai anak muda,"kata musafir tadi. Kemudian, mereka berehat bersama sambil berbual-bual. 

"Mengapa kau tadi tidak ikut minum," tanya musafir kepada pemuda tadi. "Maaf, saya sedang berpuasa," jawab si pemuda. Musafir itu tercengang mendengar pengakuan pemuda tersebut. "Matahari semakin tinggi, sedangkan engkau berpuasa?" tanya musafir itu penuh tanya. Pemuda itu menjawab, "Aku berharap kelak mudah-mudahan Allah menaungi diriku pada saat hari kiamat nanti. Kerana itu, aku berpuasa." Rasa kagum dan penasaran membuat si musafir ingin menguji keimanan si pemuda penggembala tersebut. Lalu, musafir itu berkata, "Hai anak muda, bolehkah aku membeli seekor saja kambingmu. Aku lapar, tolonglah aku."
"Maaf tuan, aku tidak berani sebelum mendapat izin dari majikanku," kata pemuda itu. "Ayuhlah anak muda. kambing yang kau gembalakan sangat banyak. Tentulah tuanmu tidak akan mengetahui meski kau jual seekor saja. Perutku sangat lapar, tolonglah aku," rayu musafir tersebut. 

"Aku sungguh ingin menolongmu. Kalau aku memiliki makanan, tentu akan kuberikan untukmu, tuan. Tapi, tolong jangan paksa aku untuk melakukan hal yang tak mungkin aku lakukan tuan," ucap pemuda tersebut. "Tidak akan ada yang tahu hai anak muda. Kuberikan seribu dirham untukmu untuk seekor kambing saja. Ayolah. Tidakkah kau kasihan kepadaku?" kata musafir itu yakin bahwa pemuda tersebut akan goyah dengan suap seribu dirham. 

 Musafir itu terus memaksa si pemuda untuk menjual seekor kambingnya. Bahkan, musafir itu tambah gusar dan marah. Akhirnya, pemuda itu berkata, "Majikanku bisa saja tidak tahu jikalau aku menjual seekor kambingnya. Sebab, jumlahnya sangat banyak. Dan majikanku tidak akan bertanya tentang kambing-kambinya. Dia tidak akan rugi meski aku menjual seekor di antara kambing kepunyaanya. Tapi, kalau aku berbuat begitu, lalu di mana Allah? Di mana Allah? Di mana Allah? Sungguh, aku tak mau di dalam dagingku tumbuh duri neraka kerana wang yang tidak halal bagiku." 

Pemuda itu menangis kerana takut tergoda berbuat sesuatu yang dimurkai Allah. Dia menangis kerana kecintaanya kepada Allah. Musafir tersebut terpegun. "Allahu akbar!!" musafir itu ikut menangis. "Katakan padaku wahai anak muda, di mana majikanmu tinggal. Aku ingin membeli seekor kambingnya," kata musafir tersebut. Setelah mendapat jawaban tentang tempat tinggal majikan pemuda tadi, musafir itu memberikan wang seribu dirham tadi kepada si pemuda. "Terimalah wang ini untukmu, anakku. Ini wang halal. Kau layak mendapatkan lebih daripada ini. Hatimu begitu mulia." 

Si musafir yang tak lain adalah Khalifah Umar bin Khattab bergegas menuju ke rumah majikan si pemuda tadi. Lalu, ditebuslah pemuda itu dengan memerdekakannya dari status hamba sahaya. Dalam lanjutan perjalanannya, Umar masih takjub dengan kisah yang baru dia alami. Di mana Allah? Inilah kalimat yang menggetarkan hati Umar. Rasa takut kepada Allah tidak menggoyahkan iman seorang pemuda tadi meski dirayu dengan materi. Duniawi tidak mampu menyilaukan hati pemuda itu kerana keteguhan iman yang hakiki.


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...